Di Indonesia belajar kimia tanpa praktikum kadang (atau sudah lazim) dilakukan . Lho bagaimana bisa? Kok kelihatannya hebat bener?! Padahal kata Chemistry jika dipenggal menjadi Chem-Is-Try, kimia tidak bisa dikatakan kimia jika tanpa eksperimen (Try). Bahkan ilmu kimia juga lahir dari eksperimen kemudian muncul-lah teori-teori kimia.
Di pelosok bahkan di perkotaan juga bisa terjadi bahwa belajar kimia tanpa eksperimen. Alasannya klasik, karena:
tidak tersedianya laboratorium,
tidak tersedianya alat-alat praktikum,
tidak tersedianya bahan kimia yang diperlukan,
tidak adanya guru kimia,
guru kimia yang ada tidak mau membimbing praktikum.
Wah kok yah ada sekolah yang ada mata pelajarannya kimia tidak memiliki seperti list di atas itu? Siapa yang mesti bertanggung jawab sih kok ada sekolah SMA tanpa sarana pembelajaran yang diperlukan.
Untuk alasan 1,2,3,4, kalau itu sekolah negeri tanggung jawab ada pada departemen pendidikan, melalui dinas di daerah mengapa mendirikan sekolah tanpa fasilitas yang diperlukan. Bahkan sampai ada suatu sekolah yang sudah bertahun-tahun berdiri dan membuka program IPA tapi tidak memiliki sarana yang diperlukan. Kalau sekolah swasta saya tidak tahu, mestinya yah pemerintah juga.
Ketidaktersediaan laboratorium sebenarnya bisa diantisipasi untuk dilakukan demo di dalam kelas. Ketidaktersediaan alat-alat praktikum bisa dicarikan alternatif yang memingkinkan. Ketidaktersediaan bahan kimia bisa dicarikan alternatif juga. Meskipun ada beberapa praktikum yang tidak mungkin dicarikan alternatif pengganti alat dan bahan-nya.
Memang sepertinya pemerintah kadang terkesan kurang serius mengurusi persekolahan. Suatu ketika ada sekolah yang sudah dibangunkan lab tapi alat dan bahan tidak disediakan atau sebaliknya. Bahkan keadaan seperti itu sampai sekian tahun tidak ada perubahan. Yang lebih para sampai ada di suatu SMA tidak memiliki guru kimia bertahun-tahun. Ini seperti yang terjadi di sekolah saya dulu, kakak-kakak kelas sampai lulus SMA belum pernah melakukan praktikum padahal alat bahan tersedia. Beruntung saat saya kelas 3 sempat memanfaatkan laboratorium karena guru kimia telah ada.
Untuk yang terakhir, guru kimia yang ada tidak mau membimbing praktikum alasan guru tersebut macam-macam meskipun sarana ada. Saya kadang juga begitu.
Alasannya malas… masuk lab ribet, tidak ada hasil. Ini mungkin juga yang banyak dijadikan alasan oleh kebanyak guru kimia. Kalaupun ada yang komentar guru seperti itu guru tidak profesional, pasti guru itu akan balas ngomong “bodo’ah”. Jadi tergantung komitmen guru saja.
Pilihan jadi guru kimia bukanlah paksaan. Kondisi yang kurang kondusif-lah yang sering jadi kambing hitam. Penghargaan terhadap profesionalitas selama ini tidaklah pernah ada. Mungkin kuwatir terkotak-kotak antara guru eksak dan guru no eksak sehingga sistem “penggajian” semua guru sama. Ini bukan berarti guru kimia tidak mampu membimbing, sebab selama kuliah S-1 pengalaman dan pengetahauan tentang kelaboratoriuman meraka tahu persis.
Menurut pengalaman saya selama jadi siswa SMA selama 3 tahun, 2 tahun pelajaran diajar oleh guru bukan asli guru kimia dan 1 tahun terakhir diajar guru kimia, untuk mengikuti perkuliahan kimia ternyata tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan laboratorium. Demikian pula teman kuliah saya yang belum pernah masuk laboratorium sama sekali selama SMA, adaptasi untuk laboratorium cukup 1 semester awal, selanjutnya lancar tidak ada masalah. Jadi di sini pembiasaan praktikum di lab tidak mesti bisa saat di SMA. Ini yang juga dialami oleh kakak kelas di SMA dulu yg tidak pernah mengenyam laboratorium kimia, ternyata sekarang mengajar kimia. Malah dia sadar akan pentingnya eksperimen untuk menguatkan konsep kimia.
Lalu apakah ini bisa disimpulkan bahwa belajar kimia di SMA tidak mesti masuk laboratorium, tanpa eksprimen?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar